Galeri Soekarno

Galeri Soekarno

Soekarno Dilumpuhkan Lewat Kudeta Merangkak: Dari Supersemar 1966 Hingga Sidang Istimewa MPRS 1967

0


Presiden Soekarno dilumpuhkan lewat kudeta merangkak melalui penyalahgunaan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tanggal 11 Maret 1966 yang diberikan Soekarno pada Soeharto. Kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Indonesia kemudian dicabut melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Volkscongres) 1967 yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution (seperti terlihat dalam foto di atas).

Sidang Istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang digelar pada tanggal 7–12 Maret 1967 di Jakarta. Sidang ini merupakan momen krusial dalam sejarah Indonesia karena menjadi titik akhir kepresidenan Soekarno dan penunjukan Soeharto sebagai pejabat presiden. Sidang ini dipicu oleh konflik politik pasca-peristiwa Gestapu (G30S/PKI) 1965, di mana Soekarno kehilangan dukungan politik akibat tuduhan keterlibatannya dengan PKI dan kegagalan pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara (22 Juni 1966) serta Pelengkap Nawaksara (10 Januari 1967), yang ditolak MPRS.

Sidang Istimewa MPRS pada 7–12 Maret 1967 memutuskan untuk mencabut mandat Soekarno sebagai Presiden/Mandataris MPRS berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. Alasan utama adalah pandangan bahwa kepemimpinan Soekarno dianggap membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila secara konstitusional dan politis/ideologis. Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967, dan kemudian secara resmi dilantik sebagai presiden penuh pada 27 Maret 1968 melalui TAP MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968.

Sidang ini juga menempatkan Soekarno dalam status tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) hingga kesehatannya memburuk dan meninggal pada 21 Juni 1970.


Soekarno tidak hadir secara langsung dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Pada saat itu, ia sudah melemah secara politik dan fisik. Setelah menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966 dan pengumuman resmi penyerahan kekuasaan pada 22 Februari 1967, Soekarno tidak lagi memiliki peran aktif dalam sidang MPRS. Ia berada dalam status terisolasi dan akhirnya dikenakan tahanan rumah.

Kenapa Supersemar 11 Maret 1966 Disebut Jadi Alat Kudeta Merangkak?
Supersemar disebut "alat kudeta merangkak" karena menjadi titik awal bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan secara bertahap, menggunakan wewenang legal dari Soekarno sendiri untuk melemahkan posisinya. Proses ini melibatkan kombinasi tekanan militer, manuver politik, dan legitimasi konstitusional, yang berpuncak pada pencabutan mandat Soekarno pada Maret 1967. Ambiguotas isi Supersemar, situasi penandatanganannya, dan pemanfaatannya oleh Soeharto menjadikan dokumen ini sebagai simbol transisi kekuasaan yang kontroversial dalam sejarah Indonesia.

Supersemar memberikan legitimasi kepada Soeharto untuk bertindak atas nama presiden. Soeharto menggunakan wewenang ini untuk membubarkan PKI (12 Maret 1966), menangkap menteri-menteri pro-Soekarno, dan mengendalikan media serta demonstrasi anti-Soekarno (seperti aksi mahasiswa KAMI/KAPPI).

Pada 18 Maret 1966, Soeharto menangkap 15 menteri Kabinet Dwikora yang dianggap loyal kepada Soekarno, melemahkan basis kekuasaan Soekarno di pemerintahan.

Soeharto juga membentuk Kabinet Ampera pada Juli 1966, yang secara efektif menggeser pengaruh Soekarno dalam pengambilan kebijakan.

Pada 22 Februari 1967, Soekarno secara resmi menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada Soeharto melalui pengumuman di Istana. Ini diikuti oleh Sidang Istimewa MPRS (7–12 Maret 1967), yang mencabut mandat Soekarno sebagai presiden melalui TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 dan menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden. Proses ini menunjukkan bahwa kekuasaan Soekarno tidak digulingkan dalam satu malam, melainkan terkikis melalui serangkaian langkah strategis yang dimulai dari Supersemar.

Kontroversi Penandatanganan Supersemar
Ada dugaan bahwa Soekarno menandatangani Supersemar di bawah tekanan militer. Pada 11 Maret 1966, saat Soekarno memimpin sidang kabinet di Istana Bogor, pasukan bersenjata (diduga dari Kostrad dan RPKAD) mengelilingi istana, menciptakan situasi intimidatif. Soekarno kemudian melarikan diri ke Bogor, dan di sanalah ia menandatangani surat tersebut.

Beberapa versi menyebutkan bahwa Soeharto, bersama tokoh militer seperti AM Hanafi, memanfaatkan situasi ini untuk memaksa Soekarno memberikan mandat.

Hingga kini, naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan, dan hanya salinan ketikan atau versi laporan yang beredar. Ada spekulasi bahwa naskah asli sengaja disembunyikan atau dimusnahkan untuk menghindari pengujian keabsahannya. Beberapa pihak menduga bahwa naskah asli mungkin mengandung redaksi yang berbeda dari versi yang diumumkan, yang dapat menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi tindakan Soeharto.

Setidaknya ada tiga versi Supersemar yang diketahui (misalnya, versi dari Sekretariat Negara dan versi dari Mabes ABRI), dengan perbedaan kecil dalam redaksi. Ketidakkonsistenan ini membuat pihak berwenang, khususnya Soeharto dan militer, memilih untuk tidak mempublikasikan dokumen asli guna menghindari kebingungan atau tuduhan manipulasi.

Beberapa sejarawan dan pengamat menduga bahwa Supersemar melibatkan pengaruh pihak asing, seperti Amerika Serikat atau CIA, yang mendukung penggulingan Soekarno karena kedekatannya dengan PKI dan Blok Timur. Jika naskah asli mengandung petunjuk tentang keterlibatan asing, menyembunyikannya akan mencegah skandal internasional dan reaksi negatif dari publik Indonesia yang anti-kolonial.

Dengan tidak mempublikasikan naskah asli, Soeharto dapat membangun legitimasi Orde Baru tanpa harus menghadapi pengujian hukum atau publik terhadap keabsahan Supersemar. Hingga kini, sejarawan dan peneliti masih memperdebatkan isi sebenarnya dan proses penandatanganan Supersemar. Ketidakjelasan ini menjadi salah satu misteri terbesar dalam sejarah Indonesia modern.

Foto-foto Sidang Istimewa MPRS 1967 Karya Beynon (KITLV)


Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default