Galeri Soekarno

Galeri Soekarno

Peran Soekarno Menggali dan Menetapkan Pancasila Menjadi Dasar Negara

0

 

Dasar negara Indonesia yang menjadi pandangan hidup dan ideologi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai luhur yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum terbentuknya NKRI. Bangsa Indonesia telah berupaya untuk menggali dan merumuskan dasar negara yang disebut Pancasila, melalui diskusi-diskusi dalam waktu yang relatif lama.

Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia hidup dalam kebudayaan bangsa Indonesia, karena nilai-nilai luhur tersebut merupakan bagian kebudayaan bangsa Indonesia. Perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia dipengaruhi oleh perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Secara historis, budaya bangsa Indonesia telah terbentuk sejak zaman pra-sejarah dan makin berkembang dengan masuknya budaya-budaya pendatang seperti budaya Hindu-Buddha, Islam, dan Barat ke Indonesia (Koentjaraningrat, 2002:21-29). Interaksi budaya asli Indonesia dengan budaya-budaya pendatang tersebut menyebabkan munculnya kemajemukan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia.

Pancasila lahir dari sebuah proses sejarah yang panjang, oleh karena itulah Pancasila memiliki nilai historis bagi bangsa Indonesia. Nilai historis Pancasila timbul karena dalam perumusannya melalui serangkaian peristiwa sejarah yang mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya. Presiden Soekarno dalam amanatnya pada tanggal 24 September 1955 di Surabaya mengatakan,

“... Selamilah sedalam-dalamnya daripada sejarah! Gali sedalam-dalam bumi daripada sejarah! ... Aku menggali lima mutiara yang terbenam, tadinya lima mutiara itu cemerlang tetapi karena oleh penjajahan asing yang 350 tahun lamanya... aku gali kembali lima mutiara itu dan kupersembahkan di atas persada” (Pringgodigdo dalam Notosusanto, 1983:72).

Pada saat sidang pertama BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Laoly: 2017:3) pada 28 Mei 1945, Ketua BPUPK dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat mengajukan sebuah pertanyaan, yaitu apakah dasar negara Indonesia kelak ketika merdeka. Menanggapi hal itu, ada tiga orang tokoh yang mengajukan usulnya mengenai dasar negara. Mereka adalah Mohammad Yamin (29 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni 1945). Sidang itu berlangsung di gedung Chuo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila yang masuk dalam kompleks Kementerian Dalam Negeri).

Soekarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara dalam sebuah pidato tanpa teks. Soekarno mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yaitu Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Peri Kemanusiaan), Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Kelima prinsip itu atas saran seorang teman Soekarno yang ahli bahasa dinamakan Pancasila. Menurut Soekarno Pancasila itu masih bisa diperas lagi menjadi Trisila yaitu Sosio Nasionalisme yang merupakan sintesis dari Kebangsaan (Nasionalisme) dengan Peri Kemanusiaan (Internasionalisme), Sosio Demokrasi yang merupakan sintesis dari Mufakat (Demokrasi) dengan Kesejahteraan Sosial, serta Ketuhanan. Kemudian menurut Soekarno Trisila itu dapat diperas lagi menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong (Kaelan, 2010:40).

Soekarno mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau Philosopische Grondslag dan juga pandangan dunia yang setingkat dengan aliran-aliran besar dunia atau sering disebut sebagai weltanschauung. Soekarno membandingkan Pancasila dengan ideologi-ideologi besar dunia seperti liberalisme, komunisme, chauvinisme, kosmopolitanisme, San Min Chui, dan ideologi besar dunia lainnya (Sekretariat Negara, 1998:63-64).

Kemudian untuk menindaklanjuti usulan-usulan mengenai dasar negara itu, dibentuklah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno dan beranggotakan Wachid Hasjim, Mohammad Yamin, A.A. Maramis, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Abdul Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Agus Salim. Hasil dari dibentuknya Panitia Sembilan itu ialah Jakarta Charter (Piagam Jakarta), yang kelak menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam paragraf keempat dimuat rumusan dasar negara, yaitu Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 

 

Namun kemudian ketika Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya dan akan dilaksanakan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyunbi Inkai, perwakilan dari Indonesia Bagian Timur yang mayoritas Non Muslim, menemui Mohammad Hatta dan menyampaikan keberatannya akan sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya. Mereka mengancam jika sila pertama itu tidak diubah, mereka tidak mau bergabung dengan Indonesia. Hal itu kemudian disampaikan Mohammad Hatta kepada Soekarno selaku Ketua PPKI. Soekarno kemudian mengumpulkan perwakilan Muslim dan perwakilan Non Muslim guna membahas masalah ini. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya dicapai sebuah kesepakatan bahwa bunyi dari sila pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa (Laoly, 2017:8).

Soekarno sendiri sebenarnya telah jauh-jauh hari memikirkan tentang dasar negara Indonesia kelak ketika merdeka. Saat masa pembuangan di Endeh, Flores, suatu saat Soekarno duduk di bawah sebuah pohon Sukun. Tiba-tiba Soekarno mendapatkan ilham tentang dasar negara. Tapi Soekarno mengatakan bahwa ilhamnya di bawah pohon Sukun itu baru dapat dirumuskannya saat muncul pertanyaan dari dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1965, Soekarno mengatakan bahwa pada saat itu dia menggali daya pikirnya, daya ciptanya, dan daya khayalnya, untuk merumuskan sebuah dasar negara yang dinamakan Pancasila.

Salah satu pendapat yang menyatakan bahwa Soekarno adalah penggali Pancasila datang dari Mohammad Hatta. Hatta yang juga mantan anggota BPUPK dalam setiap kesempatan (hingga akhir hayatnya) menyatakan bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila dan penggalinya adalah Soekarno. Hatta dalam surat wasiatnya kepada Guntur Soekarnoputra (Adams, 2011:377-378) mengatakan, pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 merupakan asal mula Pancasila yang sekarang (Pancasila dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945) dengan perubahan urutan dan redaksional yang dilakukan oleh Panitia Sembilan dan PPKI. Pendapat ini merupakan pendapat yang secara umum diterima oleh masyarakat sejak kata “Pancasila” diperkenalkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.

Setelah kekuasan telah beralih dari Soekarno (Orde Lama) ke Soeharto (Orde Baru), mulailah diadakan sebuah proyek yang dikenal dengan nama de-Soekarnoisasi, yaitu sebuah usaha pemerintah Orde Baru untuk menghilangkan jejak Soekarno dari ingatan bangsa Indonesia. Ternyata bukan hanya pada nama tempat atau nama jalan, nama Sukarno juga berusaha dihilangkan dari Pancasila. Pemerintah Orde Baru berusaha menghilangkan stigma Soekarno yang terlanjur telah melekat dengan Pancasila. Sejarawan Orde Baru, Nugroho Notosusanto, mengajukan pendapatnya bahwa Mohammad Yamin-lah sebenarnya yang “menemukan” Pancasila. Selain itu juga pemerintah Orde Baru tidak mengakui 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, keluarlah Keputusan Presiden nomor 24 tahun 2016, yang menyatakan bahwa tanggal 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional.

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default